Sabtu, 17 November 2018

Bank Syariah Bebas Riba dan Riba Dalam Bank Syariah

MENCARI SOLUSI BANK SYARIAH 
 
 
Oleh Ustadz Muhammad Arifin Badri 
 
 
Segala puji melulu milik Allah Ta’ala, Dzat yang sudah melimpahkan sekian banyak  kenikmatan untuk kita. 
 
 
Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan untuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan semua sahabatnya. Amin. 
 
 
Syariat Islam –segala puji melulu milik Allah-mempunyai sifat universal, merangkum* segala urusan, baik yang sehubungan dengan masalah ibadah maupun muamalah, sampai-sampai syariat Islam benar-benar laksana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala. 
 
 
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا 
 
 
“Pada hari ini, sudah Aku sempurnakan untukmu agama mu, dan sudah aku cukupkan atasmu kenikmatan-Ku, dan Aku ridha Islam menjadi agamamu”.[al-Mâ`idah/5:3] Al-hamdulillah, kenyataan ilahi ini mulai  Disadari pulang oleh umat Islam, sampai-sampai kini, anda mulai mendengar sekian banyak seruan untuk merealisasikan syariat ilahi ini dalam segala aspek kehidupan. 
 
 
Termasuk wujud dari kesadaran ini,yaitu berdirinya sekian banyak badan finansial(perbankan) yang mengklaim dirinya berazaskan syariat. Fenomena ini patut menemukan perhatian, partisipasi dan sokongan dari kita, supaya laju pertumbuhan dan tahapannya tetap lurus sebagaimana yang digariskan syariat Islam. 
 
 
Dan pada peluang ini, saya hendak sedikit berpartisipasi,yakni dengan menuliskan* sejumlah hal, yang menurut irit saya butuh dikritisi. Semoga yang saya kerjakan ini, mendapat tanggapan dan respon positif dari saudara-saudara anda yang berkepentingan dalam masalah ini. 
 
 
TINJAUAN PERTAMA : PERANAN GANDA PERBANKAN SYARIAT Perbankan syariat yang ada sudah mengklaim bahwa mudharabah adalah asas untuk berbagai transaksi yang dijalankannya, baik transaksi antara nasabah empunya modal dengan perbankan, maupun transaksi antara pihak perbankan dengan nasabah pelaku usaha. 
 
 
Akan tetapi, pada penerapannya, saya mendapatkan sebuah kejanggalan, yakni peran kedudukan ganda perbankan yang saling bertentangan. Untuk menyatakan permasalahan ini, cermatilah skema berikut. [Ma’af Skema Peran Perbankan Syariah belum dapat ditampilkan] Bank berperan sebagai pelaku usaha, yakni ketika bersangkutan dengan nasabah sebagai empunya modal. Namun dalam sekejap kedudukan ini berubah,yakni bank berperan sebagai pemodal saat pihak perbankan berhadapan dengan pelaku usaha yangmemerlukan dana guna mengembangkan usahanya. 
 
 
Status ganda yang dibintangi perbankan ini memperlihatkan bahwa akad yang sebetulnya*dijalankan oleh perbankan sekitar ini ialah akad utang piutang, dan bukan akad mudharabah. Yang demikian itu, karena, bila ia berperan sebagai pelaku usaha, maka status duit yang ada padanya ialah amanah yang mesti dipertahankan sebagaimana layaknya mengawal amanah lainnya. 
 
 
Dan yang dimaksud dengan amanah dari pemodal,merupakan mengelola dana itu dalam usaha nyata yang akan menyebabkan hasil (keuntungan), sampai-sampai bank, tidak semestinya mengalirkan modal yang ia terima dari nasabah (pemodal) ke pengusaha beda dengan akad mudharabah. 
 
 
Sehingga, bila ia berperan sebagai pemodal, maka ini mendustakan fakta yang sebenarnya, yakni sebagian besar duit yang dikelola ialah milik nasabah. 
 
 
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hukum kedua: tidak dibenarkan untuk pelaku usaha (mudharib) untuk mengalirkan modal yang ia terima untuk pihak ke tiga dengan perjanjian mudharabah. Bila ia melakukan urusan tersebut atas seizin pemodal,sampai-sampai ia terbit dari akad mudharabah (kesatu) dan berubah kedudukan menjadi perwakilan untuk pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka tersebut dibenarkan. Akan namun ia tidak dibetulkan untuk mensyaratkan guna dirinya sedikitpun dari deviden yang diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan urusan itu, maka akad mudharabah kedua bathil”[1]. Ucapan senada pun diutarakan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Hambali rahimahullah, ia berkata, “Tidak dibenarkan untuk pelaku usaha untuk mengalirkan modal (yang ia terima) untuk orang beda dalam format mudharabah, demikian penegasan Imam Ahmad. . . .
 
 
Pendapat ini ialah pendapat Imam Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan aku tidak memahami ada ulama’ beda yang menyelisihinya”.[2] Dalam akad mudharabah, bila perbankan membintangi peranan ganda semacam ini, atas seizin pemodal sementara ia tidak ikut serta dalam menjalankan usaha yang dilaksanakan oleh pelaku usaha kedua, maka bank tidak berhak menemukan bagian dari keuntungan, sebab statusnya hanyalah sebagai perantara (calo). 
 
 
Para ulama’ menyatakan bahwa dalil hukum ini merupakan: sebab hasil/deviden dalam akad mudharabah hanyalah hak empunya modal dan pelaku usaha, sementara pihak yang tidak mempunyai modal, dan tidak ikut serta dalam pengamalan usaha, maka ia tidak berhak guna mendapatkan unsur dari hasil.[3] 
 
 
 
TINJAUAN KEDUA : BANK TIDAK MEMILIKI USAHA RIIL Badan-badan finansial yang menamakan dirinya sebagai perbankan syariah seakan tidak sepenuh hati dalam merealisasikan sistem perekonomian Islam. Badan-badan tersebut berjuang untuk menghindari sunnatullah yang sudah Allah Ta’ala tentukan dalam dunia usaha. Sunnatullah itu berupa pasangan sejoli yang tidak barangkali dipisahkan, yakni untung dan rugi. Operator perbankan syariah senantiasa menghentikan tahapan syariat pada etape yang aman dan tidak berisiko. Oleh sebab itu, perbankan syariah yang terdapat –biasanya- tidak atau belum mempunyai usaha nyata yang bisa menghasilkan keuntungan. 
 
 
Semua jenis produk perbankan yang mereka tawarkan pembiayaan dan pendanaan. Dengan demikian, pada masing-masing unit usaha yang dikelola, peran perbankan melulu sebagai distributor dana nasabah.[4] Sebagai misal nyata dari produk perbankan yang ada merupakan mudharabah. Operator perbankan tidak berperan sebagai pelaku usaha, akan namun sebagai distributor dana nasabah.   
 
 
Hal ini mereka lakukan,sebab takut dari sekian banyak resiko usaha, dan melulu ingin menemukan keuntungan. Bila demikian ini keadaannya, maka deviden yang didapatkan atau dipersyaratkan oleh perbankan untuk nasabah penyelenggara usaha ialah haram, sebagaimana ditegaskan oleh semua ulama, di antaranya sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam an-Nawawi di atas. 
 
 
TINJAUAN KETIGA : BANK TIDAK SIAP MENANGGGUNG KERUGIAN. 
 
 
Andai kita memblokir mata dari kedua urusan di atas, maka masih terdapat masalah besar yang menghadang tahapan perbankan syariah di negeri kita. Hal itu ialah, ketidaksiapan operator perbankan guna ikut menanggung resiko mudharabah yang mereka jalin dengan semua pelaku usaha. 
 
 
Bila pelaku usaha merasakan kerugian, walaupun tanpa disengaja, niscaya anda dapatkan perbankan segera ambil tahapan seribu dengan teknik meminta pulang modal yang sudah ia kucurkan dengan utuh. Hal ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha bukanlah mudharabah, akan namun hutang-piutang yang berbunga alias riba. Para ulama’ dari sekian banyak  mazhab sudah menegaskan bahwa empunya modal tidak dibetulkan untuk mensyaratkan supaya pelaku usaha memberikan garansi seluruh atau beberapa modalnya. 
 
 
Sehingga apa yang diterapkan pada perbankan syari’ah, yaitu mengharuskan atas pelaku usaha untuk membalikkan seluruh modal dengan utuh bila terjadi kerugian usaha ialah persyaratan yang batil [5]. Dan dalam ilmu fiqih, bila pada sebuah akad ada persyaratan yang batil, maka solusinya ada ialah satu dari dua urusan berikut: 
 
 
1. Akad beserta persyaratan itu tidak sah, sehingga setiap pihak berhubungan harus membalikkan seluruh hak-hak lawan akadnya. 
 
 
2. Akad bisa diteruskan, akan namun dengan meninggalkan persyaratan tersebut. Sebagai misal misalnya Bank Syariah Yogyakarta mengucurkan modal untuk Pak Ahmad –misalnya- sebesar Rp. 100.000.000,- dengan perjanjian untuk hasil 60% banding 40%. Setelah usaha berlangsung dan sudah jatuh tempo, Pak Ahmad merasakan, atau gudangnya terbakar atau yang serupa,sampai-sampai modal yang ia terima dari bank melulu tersisa Rp. 20.000.000,-. 
 
 
Dalam suasana semacam ini, Bank Syariah Yogyakarta bakal tetap meminta supaya Pak Ahmad membalikkan modalnya utuh, yakni Rp. 100.000.000,-. Mungkin operator perbankan syariat bakal berdalih, bahwa dalam dunia usaha, duit kembali laksana semula tanpa terdapat keuntungan ialah kerugian. 
 
 
Dengan demikian perbankan sudah ikut serta menanggung kerugian yang terjadi. Maka anda katakan: Alasan serupa pun dapat diutarakan oleh penyelenggara usaha: dalam dunia usaha, seseorang bekerja tanpa menemukan hasil tidak banyak pun ialah kerugian. Andai ia bekerja pada sebuah perusahaan, niscaya ia bakal* mendapatkan gaji yang sudah disepakati, meski perusahaan sedang merugi. Bahkan dalam akad mudharabah dengan perbankan syariat, pelaku usaha merugi dua kali, yaitu: Pertama, ia sudah bekerja banting tulang, peras keringat, dan pada kesudahannya tidak menemukan hasil sedikitpun. Kedua, ia masih pun harus menutup kelemahan yang terjadi pada modal yang pernah ia terima dari bank.  
 
 
Contoh beda dari produk perbankan syariat merupakan bai’ al-Murabahah. Bentuknya tidak cukup lebih demikian; bila ada seseorang yang hendak mempunyai motor, ia dapat mengemukakan permohonan ke di antara perbankan syariah supaya Bank itu membelikannya. Selanjutnya pihak bank bakal mengkaji kelayakan calon nasabahnya ini. Bila permintaannya diterima, maka bank bakal segera menyelenggarakan barang yang dimaksud dan segera menyerahkannya untuk pemesan, denganperaturan yang sebelumnya sudah disepakati.[6] Sekilas akad ini tidak bermasalah, akan namun bila anda cermati lebih seksama, maka bakal nampak dengan jelas bahwa pihak bank berjuang untuk memblokir segala risiko. 
 
 
Oleh karenanya, sebelum bank menyelenggarakan barang yang dimaksud, bank telah menciptakan kesepakatan jual-beli dengan segala ketentuannya dengan nasabah. Dengan demikian, bank telah memasarkan barang yang belum ia miliki, dan itu ialah terlarang. 
 
 
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : (مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ) قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: وَأَحْسِبُ كُلَّ شَيْءٍ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ. 
 
 
“Dari kawan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu ia menuturkan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang melakukan pembelian bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali sampai ia berlalu menerimanya” Ibnu ‘Abbas berkata: Dan saya berasumsi bahwa segala sesuatu hukumnya laksana bahan makanan” [Muttafaqun ‘alaih]. 
 
 
Pemahaman Ibnu ‘Abbas ini didukung oleh riwayat Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut: 
 
 
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ ابْتَعْتُ زَيْتًا فِي السُّوقِ فَلَمَّا اسْتَوْجَبْتُهُ لِنَفْسِي لَقِيَنِي رَجُلٌ فَأَعْطَانِي بِهِ رِبْحًا حَسَنًا فَأَرَدْتُ أَنْ أَضْرِبَ عَلَى يَدِهِ فَأَخَذَ رَجُلٌ مِنْ خَلْفِي بِذِرَاعِي فَالْتَفَتُّ فَإِذَا زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ فَقَالَ لَا تَبِعْهُ حَيْثُ ابْتَعْتَهُ حَتَّى تَحُوزَهُ إِلَى رَحْلِكَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ رواه أبو داود والحاكم 
 
 
“Dari kawan Ibnu ‘Umar, ia mengisahkan: “Pada suatu ketika saya melakukan pembelian minyak di pasar, dan saat saya telah belalu membelinya,terdapat seorang pria yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, lantas ia memberiku deviden yang lumayan banyak, maka akupun berkeinginan menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut). Tiba-tiba, terdapat seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka aku juga menoleh, dan ternyata ia ialah Zaid bin Tsabit, lantas ia berkata: ‘Janganlah anda menjual minyak tersebut di tempat anda membelinya, hingga anda pindahkan ke tempatmu,sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengizinkan dari memasarkan kembali barang di lokasi barang itu dibeli, sampai barang tersebut dialihkan oleh semua pedagang ke lokasi mereka masing-masing’.” [HR Abu Dawud dan al-Hakim] [7] Para ulama melafalkan hikmah dari larangan ini, di antaranya merupakan karena barang yang belum diterimakan untuk pembeli dapat saja batal,sebab suatu sebab, contohnya barang itu hancur terbakar, atau bobrok terkena air dan lain-lain, sehingga saat ia sudah menjualnya pulang ia tidak bisa menyerahkannya untuk pembeli kedua tersebut. 
 
 
Hikmah kedua, laksana yang ditetapkan oleh Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu saat muridnya, yakni Thawus mempertanyakan karena larangan ini: 
 
 
قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ كَيْفَ ذَاكَ قَالَ ذَاكَ دَرَاهِمُ بِدَرَاهِمَ وَالطَّعَامُ مُرْجَأٌ 
 
 
“Saya bertanya untuk Ibnu ‘Abbas: “Bagaimana kok demikian?” Ia menjawab: “Itu, sebab sebenarnya yang terjadi ialah menjual dirham dengan dirham,sementara bahan makanannya ditunda”.[8] Ibnu Hajar menyatakan perkataan Ibnu ‘Abbas di atas sebagaimana berikut: “Bila seseorang melakukan pembelian bahan makanan ekuivalen 100 dinar –misalnya- dan ia sudah membayarkan duit tersebut untuk penjual, sementara ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, lantas ia menjualnya berpulang pada orang beda seharga 120 dinar dan ia langsung menerima duit pembayaran tersebut,sebenarnya bahan makanan masih tetap berada di penjaja kesatu, maka seolah-olah orang ini sudah menjual/menukar duit 100 dinar dengan harga 120 dinar. Dan menurut pengartian ini, maka larangan ini tidak melulu berlaku pada bahan makanan saja”.[9] 
 
 
TINJAUAN KEEMPAT : SEMUA NASABAH MENDAPATKAN BAGI HASIL. Perbankan syariah mencampuradukkan seluruh duit yang masuk kepadanya. Sehingga tidak bisa diketahui nasabah yang uangnya telah disalurkan dari nasabah yang uangnya masih beku di bank. Walau demikian, pada masing-masing akhir bulan,semua nasabah menemukan bagian dari hasil/keuntungan. 
 
 
Hal ini menjadi masalah besar dalam cara mudharabah yang benar-benar Islami. Sebab yang menjadi pertimbangan dalam menyalurkan keuntungan untuk nasabah ialah keuntungan yang didapatkan dari setiap dana nasabah. 
 
 
Sehingga nasabah yang uangnya belum disalurkan, tidak berhak guna mendapatkan unsur dari hasil. Sebab deviden yang diperoleh ialah hasil dari pengelolaan modal nasabah di samping mereka. Pembagian hasil untuk nasabah yang uangnya belum tersalurkan jelas-jelas merugikan nasabah yang uangnya telah disalurkan. Inilah kenyataan perbankan syariah yang terdapat di negeri kita. Oleh sebab itu, tidak mencengangkan bila perbankan syariah dihantui oleh over likuiditas. 
 
 
Yaitu suatu suasana dimana bank kebanjiran dana masyarakat/nasabah, sampai-sampai tidak dapat menyalurkan seluruh duit yang terkumpul dari nasabahnya. Keadaan ini memaksa perbankan syariat guna menyimpan duit yang tidak tersalurkan itu di Bank Indonesia (BI) dalam format Sertifikat Wadi`ah. Sebagai contoh, pada periode Januari 2004 dilaporkan, perbankan syariat sukses mengumpulkan dana dari nasabah sebesar 6,62 triliun rupiah, bakal tetapi, dana yang sukses mereka gulirkan melulu 5,86 triliun rupiah.[10] 
 
 
TINJAUAN KELIMA : METODE BAGI HASIL YANG BERBELIT-BELIT Bila anda datang ke di antara kantor perbankan syariah yang terdekat dengan lokasi tinggal kita, niscaya anda akan mendapatkan sebuah brosur yang menyatakan tentang cara pembagian hasil. Bagi dapat mengetahui metode pembagian hasil itu bukanlah sebuah hal yang mudah, terlebih-lebih untuk yang taraf pendidikannya rendah. Berikut ialah metode untuk hasil yang diterapkan oleh di antara perbankan syariah di Indonesia: 
 
 
Bagi hasil nasabah = dana/saldo nasabah x E x Rasio/nisbah nasabah ………………………….. 1000 …………………………….. 100 E = penghasilan rata-rata investasi dari masing-masing 1000 rupiah dari dana nasabah. Dapat disaksikan dengan jelas,bahwa di antara pengali dalam perhitungan hasil pada skema di atas ialah total modal (dana) nasabah. Adapun dalam akad mudharabah, maka yang dihitung ialah keuntungan atau hasilnya, oleh karenanya akad ini dinamakan untuk hasil. 
 
 
Muhammad Nawawi al-Bantaani berkata, “Rukun mudharabah kelima ialah* keuntungan. Rukun ini memiliki sejumlah* persyaratan, di antaranya, keuntungan melulu* milik pemodal dan pelaku usaha. Hendaknya mereka berdua sama-sama memilikinya, dan hendaknya bagian setiap* dari mereka ditentukan dalam prosentase.”[11] Inilah yang menjadikan cara* penghitungan hasil dalam mudharabah yang benar-benar syar’i paling*simpel, dan gampang* dipahami. Berikut skema pembagian hasil dalam akad mudharabah: Bagi hasil nasabah = deviden* bersih x nisbah nasabah x nisbah modal nasabah dari total dana yang* dikelola oleh bank. Perbedaan antara dua cara* di atas dapat dicerna*dengan jelas melalui misal* berikut. Pak Ahmad menginvestasikan modal sebesar Rp. 100.000.000,- dengan perjanjian 50 % guna* pemodal dan 50 % guna* pelaku usaha (bank), dan total dana yang* dikelola oleh bank sebanyak* 10.000.000.000,- (10 miliar). Dengan demikian, modal Pak Ahmadialah* 1 % dari keseluruhan duit* yang* dikelola oleh bank. Pada akhir bulan, bank sukses* membukukan laba bersih sebesar 1.000.000.000 (1 miliar). Operator bank -setelah melewati* perhitungan yang berbelit-belit pula- menilai* bahwa penghasilan* investasi dari masing-masing* Rp. 1.000,- ialah* Rp 11,61. Bila kita memakai* metode perbankan syariat, maka hasilnya ialah* sebagai berikut: 100.000.000 x 11,61 x 50 = Rp. 580.500,- …… 1000 ……………. 100 Dengan cara* ini, Pak Ahmad melulu* mendapatkanuntuk* hasil sebesar Rp 580.500,- saja. Sedangkan bila** kita memakai* metode mudharabah yang sebenarnya, maka hasilnya sebagai berikut: 1.000.000.000 x 1 x 50 = 5.000.000,- ………………… 100 100 Dengan cara* penghitungan hasil mudharabah yang sebenarnya, Pak Ahmad berhak mendapatkan untuk*hasil sebesar Rp: 5.000.000,-. Metode pembagian yang diterapkan oleh bank berbelit-belit dan merugikan nasabah. Yang lebih rumit lagi ialah* metode bank dalammenilai* penghasilan* rata-rata investasi darimasing-masing* 1000 rupiah. Berikut salah satumisal* dari cara* yang diterapkan oleh di antara*perbankan syariat di Indonesia: E = (total dana nasabah – Giro Wajib Minimum) x Total penghasilan* x 1000 …………………. Total Investasi …………………….. Total dana nasabah Metode perhitungan untuk* hasil yang berbelit-belit ini, memperlihatkan* bahwa perbankan syariat yangterdapat* tidak merealisasikan* metode mudharabah yang sebenarnya. Dari sedikit deskripsi* di atas,saya dan anda bisa* simpulkan bahwa perbankan syariat yang terdapat* hanyalah sebatas* nama besar tanpa terdapat* hakikatnya. Bahkan yang terjadisebetulnya* hanyalah upaya mempermainkan istilah-istilah syari’ah. SOLUSI PERBANKAN Untuk menyiasati sejumlah* kritik di atas, maka berikut sejumlah* usulan yang barangkali* dapat diterapkan oleh perbankan yang benar-benar hendak*menerapkan sistem perbankan yang Islami. 1. Pemilahan Nasabah Berdasarkan Tujuan Masing-Masing. Secara global, saya dan anda bisa* mengelompokkan nasabah yang menyimpan uangnya* di bank menjadi duakumpulan* besar. Kelompok kesatu*, nasabah yang semata-mata bertujuan untuk menyelamatkan*hartanya. Kelompok kedua, nasabah yang bertujuanmenggali* keuntungan dengan menginvestasikanuangnya* melalui jalur perbankan yang ada. Masing-masing kumpulan* nasabah ini mempunyai* hak dan keharusan* yang berbeda-beda, sebagaimana yang telah diulas* di atas. Berdasarkan pemilahan ini pula, pihak operator perbankan bisa* menilai* hak dan kewajibannya terhadap setiap* kelompok. Dana yang sukses* dikumpulkan oleh bank dari nasabah jenis kesatu* bisa* dimanfaatkan dalam membiayaisekian banyak * usaha yang menguntungkan, dan sepenuhnya deviden* yang didapatkan* menjadikepunyaan* bank. Dari hasil investasi dengan dana nasabah jenis kesatu* ini, bank dapat mengongkosi*operasionalnya. Bahkan tidak memblokir*kemungkinan, bahwa bank bakal* mendapat deviden*yang surplus bila** dibanding dana oprasionalnya. Di antara deviden* pemilahan ini, perbankan bakal*terhindar dari over likuidasi, sebab* bank tidakbakal* pernah menerima dana investasi, tetapi*setelah membuka kesempatan* usaha yang benar-benar halal dan dibenarkan. Sebagaimana pihak perbankan tidak berkewajiban untuk menyerahkan* keuntunganuntuk* nasabah, kecuali bila uangnya* benar-benarsudah* disalurkan dan menghasilkan keuntungan. Dengan teknik* ini pula, prinsip mudharabah benar-benar bakal* dapat diterapkan, sampai-sampai*penghitungan hasil bakal* dapat ditempuh dengancara* yang sederhana* dan transparan, yakni* dengan mengalikan jumlah deviden* yang sukses* dibukukan dengan nisbah setiap* nasabah. 2. Perbankan Terjun Langsung ke Sektor Riil. Sebagaimana sudah* diketahui bersama, bahwa guna*menjalankan operasional, sebuah* bank tentu*membutuhkan duit* yang* tidak sedikit. Oleh sebab*itu, supaya* bank berhubungan* dapat mengisi*kebutuhannya ini, ia me*sti memiliki sekian banyak * unit usaha nyata yang bisa* menghasilkan keuntungan. Tidak sepantasnya perbankan melulu*mencukupkan diri dengan menjadi pihak distributor*dana semata, tanpa terjun langsung dalam usaha nyata. Dengan demikian, deviden* yang diperoleh*oleh bank benar-benar deviden* yang halal dan bukan hasil menghutangkan dana untuk* pihak ketiga. Selama perbankan tidak terjun langsung dalam dunia usaha nyata dan melulu* mencukupkan dirinya sebagaidistributor* dana nasabah, maka riba tidak bakal*pernah bisa* dihindarkan. Dengan teknik* ini, eksistensi* perbankan syariahbakal* benar-benar menghidupkan perekonomian umat Islam. Karena dengan teknik* ini, perbankan tentu*membuka lapangan kegiatan* baru untuk* masyarakat. Sebagaimana perbankan Islami bakal* menjadi produsen sekaligus konsumen untuk* produk-produk yang beredar di masyarakat. Sebagai konsekuensi dari urusan* ini, pasti* kedua belah pihak yakni* nasabah yang menginvestasikanuangnya* ke proyek-proyek perbankan dan pun* pihak operator bank siap guna* menanggung segala risiko dunia usaha. Pemodal menanggung kerugian dalamformat* materi, dan pelaku usaha menanggung kerugian skiil. 3. Perbankan Menerapkan Mudharabah Sepihak. Pada ketika* sekarang ini, amanah dan keyakinan*susah guna* didapatkan, bahkan yang tidak jarang*terjadi di masyarakat kita merupakan** sebaliknya; pengkhianatan dan kedustaan. Oleh sebab* itu,paling* sulit untuk* kita, terlebih lagi untuk*suatu badan usaha untuk merealisasikan* sistem mudharabah dengan sepenuhnya. Bagi* mensiasatisuasana* yang memilukan ini, saya mengusulkansupaya* perbankan syari’at yang ada merealisasikan*mudharabah sepihak. Yang saya maksud dengan mudharabah sepihak ialah, perbankan menerima modal dari masyarakat guna*menjalankan sekian banyak * unit usaha yang ia kelola, akan namun* perbankan tidak mengalirkan*modalnya ke masyarakat dengan skema mudharabah. Dengan teknik* ini, dana nasabah yang disalurkan ke perbankan syari’ah bisa* dipertanggungjawabkan dengan jelas, dan perbankan terhindar dari sekian banyak * kejahatan pihak-pihak yang tidakmempunyai* amanah dan rasa takut untuk* Allah Ta’ala. Pada akhirnya, apa yang kami kemukakan* di atasialah* semata-mata sekedar* ilmu yang kami miliki. Sehingga bila diperoleh* kebenaran, maka itu ialah*murni berasal dari taufik dan ‘inayah Allah Ta’ala. Sebaliknya, bila** ada* kesalahan, maka tersebut*bersumber dari setan dan ketidaktahuan* saya. Semoga anda* mendapatkan taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sampai-sampai* dapat meninggalkan riba beserta semua* piranti dan perangkapnya, dan dimudahkan guna* mendapatkan rizki yang halal. Wallahu a’lam bish-shawab. [Penulis ialah* Kandidat Doktor Fiqih, Fakultas Syariah Universitas Islam Madinah – Saudi Arabia] [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016] ________ Footnote [1]. Raudhah ath-Thalibin, Imam an-Nawawi (5/132). Silakan baca pun* at-Tahzib, Imam al-Baghawi (4/392), Mughnil-Muhtâj, asy-Syarbini (2/314) dan Syarikatul-Mudharabah fil-Fiqhil-Islâmi, Dr. Sa’ad bin Gharir bin Mahdi as-Silmu (hlm. 202). [2]. Al-Mughni, Ibnu Qudamah al-Hambali, 7/156. [3]. Lihat al-‘Aziz, ar-Rafi’i (6/27-28), Raudhah ath-Thalibin, Imam an-Nawawi (5/132), al-Mughni, Ibnu Qudamah (7/158), Mughnil-Muhtâj, asy-Syarbini (2/314) dan Syarikatul-Mudharabah fil-Fiqhil- Islâmi, Dr. Saad bin Gharir as-Silmy (hlm. 202). [4]. Metode ini menciptakan* kita kendala* untukmenemukan* perbedaan yang berarti antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional. Danbarangkali* inilah yang menjadikan negara-negara kafir juga* ikut bersaing* mendirikan perbankan syariah. Bahkan sejumlah* negara kafir itu* –misalnya Singapura- sudah* memproklamirkan diri sebagai pusat perekonomian syariah (perbankan syariah). Oleh sebab* itu, tidak mencengangkan*bila Majalah Modal melansir pengakuan* bapak Muhaimin Iskandar (Wakil Ketua DPR RI): “Tidakterdapat* istilah ekonomi syariah dan ekonomi non syari’ah, sebab* itu melulu* soal penamaan saja”. Lihat Majalah Modal, Edisi 18/II April 2004, hlm. 19. [5]. Lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah (7/145), al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (38/64). [6]. Bank Syariah, dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi’i Antonio, hlm. 171. [7]. Walaupun pada sanadnya terdapat* Muhammad bin Ishak, akan namun* ia telah mengaku* dengan tegas bahwa ia mendengar langsung hadits ini dari gurunya, sebagaimana urusan* ini ditetapkan* dalambuku* at-Tahqîq. Lihat Nasbu ar-Rayah (4/43) dan at-Tahqîq (2/181). [8]. Riwayat Bukhari dan Muslim. [9]. Fat-hul-Bâri, Ibnu Hajar al-Asqalani, 4/348-349. [10]. Majalah Modal, Edisi 19/II-MEI 2004, hlm. 25. [11]. Nihayatu az-Zain, Muhammad Nawawi al-Jawi, hlm. 254.

0 komentar:

Posting Komentar